MASA‘IDDAH
Oleh : Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Sumber
: http://almanhaj.or.id/content/3668/slash/0/masa-iddah-dalam-islam
PENGERTIAN MASA‘IDDAH.
Masa
‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (العِدَّة) yang bermakna perhitungan (الإِحْصَاء)[1] . Dinamakan demikian karena
seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya
masa iddah.
Menurut
istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana
seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan
mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran
bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang
sudah ditentukan.[2]
Ada
yang menyatakan, masa ‘iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita
untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk
menghilangkan rasa sedih atas sang suami.[3]
HIKMAH 'IDDAH[4]
Para
ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa ‘iddah,
diantaranya:
- Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.
- Syariat Islam telah mensyariatkan masa 'iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.
- Masa 'iddah disyari'atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan.
- Masa 'iddah disyari'atkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
- Masa 'iddah disyari'atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicerai sedang hamil.
DASAR PENSYARIATANNYA
Masa
iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah
ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa
‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah.[5]
Dalil
dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
[al-Baqarah/2:228]
Sedangkan
dalil dari sunnah banyak sekali, diantaranya :
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى فَخَطَبَهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنْكِحِيهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ فَمَكُثَتْ قَرِيبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمَّ جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي
Dari
Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita
dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada
yang berkata, "Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya hingga
menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh
malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Menikahlah!" [HR al-Bukhâri
no. 4906].
ATURAN-ATURAN DALAM `IDDAH
Masa
iddah diwajibkan pada semua wanita yang berpisah dari suaminya dengan sebab
talak, khulu’ (gugat cerai), faskh (penggagalan akad pernikahan) atau ditinggal
mati, dengan syarat sang suami telah melakukan hubungan suami istri dengannya
atau telah diberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya.[6]
Berdasarkan ini, berarti wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya
sebelum digauli atau belum ada kesempatan untuk itu, maka dia tidak memiliki
masa iddah. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. [al-Ahzâb/33:49]
Berdasarkan
keterangan di atas dan berdasarkan penyebab perpisahannya, masalah 'iddah ini
dapat dirinci sebagai berikut :
1. Wanita Yang Ditinggal Mati Oleh Suaminya
Wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan :
a.
Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka masa
menunggunya ('iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman
Allâh Azza wa Jalla,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. [ath-Thalaq/65:4].
Keumuman
ayat ini di kuatkan dengan hadits al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu anhu
yang berbunyi :
أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ
Subai’ah
al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian
suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta
idzin kepada beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, lalu
ia segera menikah (lagi). [al-Bukhâri no. 5320 dan Muslim no.1485].
b.
Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil, maka masa 'iddahnya adalah empat
bulan sepuluh hari. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allâh
mengetahui apa yang kamu perbuat. [al-Baqarah/2: 234]
2. Wanita Yang Diceraikan
Wanita
yang dicerai juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan thalak raj’i
(thalak yang bisa ruju’) dan wanita yang ditalak dengan thalak bâ’in (thalak
tiga).
a.
Wanita yang dicerai dengan talak raj’i terbagi menjadi beberapa :
1.
Wanita yang masih haidh
Masa
‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman Allâh Azza
wa Jalla :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' [al-Baqarah/2:
228]
Menurut
pendapat yang rajih, quru’ artinya haidh, berdasarkan hadits A’isyah
Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :
أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا
Sesungguhnya
ummu Habibah pernah mengalami pendarahan (istihadhah/darah penyakit), lalu dia
bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi memerintahkannya
untuk meninggalkan shalat pada hari-hari quru’nya (haidhnya). [HR Abu Dâud no.
252 dan dishahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dâud]
Oleh
karena itu Ibnul Qayyim rahimahullah merajihkan pendapat ini dan mengatakan,
“Lafazh quru’ tidak digunakan dalam syariat kecuali untuk pengertian haidh dan
tidak ada satu pun digunakan untuk pengertian suci (thuhr), sehingga memahami
pengertian quru’ dalam ayat ini dengan pengertian yang sudah dikenal dalam
bahasa syariat lebih baik. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada orang yang kena darah istihâdlah :
دَعِيْ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ
Tinggalkan
shalat selama masa-masa haidhmu. [7]
2.
Wanita yang tidak haidh, baik karena belum pernah haidh atau sudah manopause .
Bagi
wanita yang seperti ini masa 'iddahnya adalah tiga bulan, seperti dijelaskan
Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. [at-Thalaq/65:4]
3.
Wanita Hamil.
Wanita
yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan melahirkan,
berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
[ath-Thalaq/65:4]
4.
Wanita yang terkena darah istihadhah.
Wanita
yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan wanita haidh.
Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur maka wajib baginya untuk
memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan suci. Apabila telah berlalu tiga kali
haidh maka selesailah iddahnya.[8]
b.
Wanita yang ditalak tiga (talak baa’in).
Wanita
yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia
tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan,
“Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh.
Dengan
haidh sekali berarti sudah terbukti bahwa rahim kosong dari janin dan setelah
itu ia boleh menikah lagi dengan lelaki lain [9].
3.
Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu’).
Wanita
yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya sekali haidh[10] ,
sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
Dari
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari
suaminya pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu sekali haidh. [HR Abu Dâud
dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu
Dâud no.1 950].
Juga
hadits yang berbunyi :
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَأَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
Dari
ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau mengajukan gugat cerai di
zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkannya untuk menunggu iddahnya satu kali haidh. [HR
at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albâni dalm Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 945].
PERUBAHAN STANDAR MASA ‘IDDAH DARI HAIDH KE
HITUNGAN BULAN
Pada
asalnya masa iddah seorang itu menggunakan satu standar dari sejak mulai sampai
akhir. Namun terkadang karena suatu sebab terjadi perubahan standar. Misalnya,
apabila seorang suami mentalak istrinya yang masih aktif haidh, kemudian
sebelum masa ‘iddahnya selesai, sang suami meninggal dunia. Wanita seperti ini
memiliki dua keadaan :
a.
Apabila talak tersebut masih talak raj’i (talak satu dan dua), maka masa ‘iddah
yang wajib diselesaikan oleh wanita ini bukan lagi dengan hitungan tiga kali
haidh tapi sudah berpindah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
yaitu empat bulan sepuluh hari. Karena statusnya masih tetap sebagai istri.
Talak raj’i tidak menghilangkan status istri pada seorang wanita. Oleh karena
itu, wanita yang ditalak dengan talak raj’i masih saling mewarisi dengan
suaminya, jika salah satunya meninggal sementara sang istri masih dalam masa
‘iddah.
b.
Apabila talak tersebut talak tiga (talak bâ`in), maka ia tetap hanya
menyempurnakan sekali haidh saja dan tidak berubah ke ‘iddah wanita yang
ditinggal mati suaminya. Karena hubungan sebagai suami istri telah terputus
sejak talak tiga itu sah. Talak tiga menyebabkan status istri pada seorang wanita
hilang. Sehingga pada kejadian di atas kematian sang suami terjadi setelah si
wanita bukan sebagai istrinya lagi.[11]
PERUBAHAN STANDAR MASA ‘IDDAH DARI HITUNGAN BULAN KE HITUNGAN HAIDH
Apabila
seorang wanita memulai iddahnya dengan hitungan bulan karena tidak haidh, baik
karena masih kecil atau telah memasuki masa menopause, namun jika disaat
menjalani masa 'iddah ini mengeluarkan haidh, maka wajib baginya untuk pindah
dari hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena hitungan bulan adalah pengganti
dari haidh. Oleh karena itu, menghitung dengan bulan tidak boleh dipakai selama
masih ada haidh yang merupakan standar pokok.
Apabila
masa 'iddah dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas, kemudian baru
mengalami haidh , maka tidak wajib memulai masa iddah dari awal lagi dengan
hitungan haidh. Karena haidh ada setelah selesai masa iddahnya berlalu.
Apabila
seorang wanita memulai hitungan masa 'iddahnya dengan haidh atau bulan kemudian
ternyata dia hamil dari suaminya tersebut, maka 'iddahnya berubah menjadi
'iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.[12]
PENUTUP
Perlu
diketahui bersama bahwa selama masa 'iddah, hendaknya wanita atau isteri yang
ditalak raj’i tetap berada di rumah suaminya, tidak boleh keluar tanpa izin
dari suami tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu 'iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu. Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke
luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allâh, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu
tidak mengetahui barangkali Allâh Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
[at-Thalaq/65:1].
Imam
asy-Syaukani rahimahullah berkata, "Mengapa demikian, karena status istri
padanya belum hilang, sehingga masih menyisakan sebagian status dari sisi
wanita dan sebagian status dari sisi suami. Hal ini akan lengkap kembali bila
saling rujuk. Sudah dimaklumi apabila wanita tersebut berada dalam status tidak
diceraikan, maka tidak boleh keluar kecuali dengan izin suaminya, karena kadang
suami membutuhkannya sementara istri sedang berada di luar rumah. Kadang
ketidaksukaan suami terhadap istri muncul dengan sebab istri keluar rumah atau
menimbulkan kecemburuan. Oleh karena itu dalam hadits shahih dari Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam
shahihain dan yang lainnya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Seorang
wanita tidak boleh berpuasa (sunat) sedangkan suaminya ada di rumah kecuali
dengan izinnya.
Apabila
(ketentuan) ini berlaku pada puasa yang merupakan bagian dari ibadah yang
paling agung, lalu bagaimana dengan keluar ? Apabila kamu bisa memahami ini,
maka kamu akan tahu tidak sepantasnya bagi wanita di masa 'iddah talak raj’i
untuk keluar kecuali dengan izin suaminya.[13]
Demikian
sebagian hukum mengenai masa 'iddah semoga yang sedikit ini bermanfaat.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1].
Lihat Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304)
[2].
al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal Kitâbil Azîz, hlm. 387 dan Mausû’atul Fiqhiyah
al-Muyassarah fi Fiqhil Kitâb was Sunnah al-Muthahharah, 5/383
[3].
Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304
[4].
Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi, 2/419-420 dan Taudhîhul Ahkâm bi Syarhi Bulûghil
Maram 5/561-562.
[5].
Lihat Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 2/383 dan Taudhîhul Ahkâm bi Syarhi
Bulûghil Maram 5/561
[6].
Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi 2/420
[7].
Zâdul Ma’âd, 5/609
[8].
Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392.
[10].
Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 5/392
[11].
Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392-393
[12].
Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/393
[13].
Sailul Jarrar 2/388
Tidak ada komentar:
Posting Komentar